Salvador Ramos: Sebuah Potret Bullying dan Kebijakan Sistem Sekolah


Nama Salvador Ramos mendadak menjadi tenar seiring dengan pemberitaan mengenai kasus mengenai penembakan masal yang terjadi di sebuah sekolah dasar di Texas. Masyarakat tidak pernah menyangka bahwa pelaku penembakan ini adalah seorang mantan siswa di sekolah tersebut dan masih berumur 18 tahun. Siapa Salvador Ramos dan motif yang melatar belakangi perbuatannya setelah kasus ini terungkap telah membuat masyarakat mengelus dada. 

Salvador Ramos, pelaku penembakan masal di SD Robb Elementary School di Uvalde, Texas yang berhasil dilumpuhkan dan ditembak mati oleh kepolisian setempat, adalah seorang remaja yang di keluarkan dari sekolah setempat karena bermasalah baik secara akademik maupun prilaku. Dikatakan bahwa dia ini kurang cakap bersosialisasi dan juga sering di bully teman - temannya karena gagap bila berbicara. Ketika kemudian dia dikeluarkan dari sekolah, maka keadaan menjadi semakin memburuk. Salvador bekerja di sebuah gerai cepat saji dan banyak menghabiskan waktunya di sosial media juga. Beberapa saat sebelum kejadian, dia sempat mengirimkan foto pistol pada seorang gadis yang dia kenal di sosial media dan juga membuat postingan bahwa dia akan melakukan sesuatu. Sayangnya karena ketakutan, si gadis tidak melaporkan ke polisi dan hanya diam saja. Beberapa saat kemudian insiden tersebut terjadi. Diawali dengan teguran dari sang nenek,yang adalah asisten guru di sekolah tersebut, mengenai tagihan telepon Salvador yang harusnya dibayarnya sendiri, Salvador menembak neneknya dan kemudian mengendarai mobil menuju sekolah tersebut. Insiden ini menewaskan 2 guru wanita dan 19 anak. 

Sungguh sebuah tragedi yang cukup memilukan untuk dunia pendidikan. Pistol yang dimiliki oleh Salvador adalah pistol yang dia beli sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 18 dan LEGAL. Ya. Texas memperbolehkan penduduk yang telah berusia 18 tahun untuk membeli senjata sebagai salah satu cara melindungi dirinya. Mungkin hal ini perlu dikaji ulang dan direvisi atau paling tidak ada tes tertentu bagi pembeli apakah dia layak secara psikologis untuk memiliki senjata api.

Latar belakang Salvador Ramos juga bisa dikatakan cukup sulit. Dengan kondisinya yang penuh kekurangan, sekolah yang sudah menyerah lebih memilih mengeluarkan dia karena tentunya sekolah tersebut mempunyai standar dan kebijakannya sendiri. Ketika siswa drop out, memang sekolah tidak bertanggung jawab lagi pada pendidikan siswa tersebut. Hanya saja cukup disayangkan, bahwa hubungan sekolah dengan siswa drop-out kemudian betul - betul putus, tanpa ada kunjungan ke rumah atau sekedar mencari tahu bagaimana kondisi siswa setelah drop out dan membantu apa yang mungkin dibutuhkannnya. Siswa yang drop out, apalagi dengan kondisi seperti Salvador, perlu support mental yang sangat besar. Seharusnya sekolah menjadi tempat dia merasa diterima dan dilindungi, sehingga bukan hanya kebutuhan akademisnya saja yang dipenuhi tapi juga kebutuhan sosial emosional. Salah satu caranya adalah dengan tidak membiarkan anak yang dibully menjadi semakin merasa tersisihkan karena dikeluarkan dari sekolah.

Kebijakan mengeluarkan siswa dari sekolah tidak selalu menjadi hal yang bijak, karena bisa jadi hal ini akan memancing siswa menjadi mendendam pada sekolah dan kemudian melakukan tindakan anarkis. Mengeluarkan siswa dari sekolah juga tidak menjamin bahwa siswa kemudian akan membaik. Siswa semacam ini justru membutuhkan sekolah dan lembaga terkait untuk membimbingnya menjadi lebih baik. 

Semoga dari kasus ini kita semua bisa mengambil pelajaran bahwa jangan sampai sekolah menjadi tempat siswa belajar merundung siswa lain sehingga berakibat fatal.


        

Comments