Etika Bersosial Media


Image by Maid Stock Footage

Sosial Media. Siapa sih yang nggak punya? Mayoritas dari kita pasti punya sosial media untuk berbagai keperluan bukan? Untuk silaturahmi, untuk bisnis dan sebagainya. Kali ini saya mau bercerita tentang pengalaman saja bergabung di sebuah grup sosial media yang kalau saya lihat dari namanya (seharusnya) isinya adalah kaum expats yang bonafid. Bonafid dalam artian bukan melulu soal materi tetapi juga soal attitude atau etika ya. 

Nah, begitu saya join, saya menemukan banyak kenalan expats dan juga orang lokal yang memang sudah ada dalam lingkaran sosmed saya sebelumnya. Kenapa saya join? Karena saya sedang branding jasa kursus bahasa saya dan saya mencari murid disitu.

Pertama melihat wall grup tersebut, saya sudah terperangah dengan bombardir status yang dibuat oleh seorang  perempuan dengan bahasa inggris yang kacau balau. Saya berusaha memahami isinya diantara ratusan komen baik yang negative maupun positive. Ternyata si Mawar (sebut saja begitu 😄) adalah seorang PRT yang entah kenapa dia mendiskreditkan sebuah Jasa Penyedia Pembantu (saya nggak usah sebut namanya ya)....and for my surprise yang komen rata - rata adalah para PRT yang merasa si Mawar ini menjatuhkan nama perserikatan mereka. Saya yang tadinya bersimpati dan menawarkan bantuan untuk Mawar (karena saya kira dia minta tolong diperlakukan tidak baik sama majikan expatnya), kemudian memilih untuk ignore. Apalagi komentar dari orang - orang semakin savage dan bully si Mawar ini. Saya malah jadi ngggak tega. Saya ingat dulu ada kejadian bunuh diri LIVE di sosmed juga gara - gara masalah bully - membully. 

Kedua, setelah Mawar terlupakan, saya pun post sebuah status. Well, intinya saya beriklan yah. Saya dapat dua komentar tentang kata 'WANNA' yang menurut seorang bapak expat (kemudian saya tahu beliau bukan orang inggris) seharusnya diubah menjadi 'WANT TO" karena saya mengiklankan kursus bahasa. Bapak tersebut juga mengatakan ada banyak error. Ketika saya minta menunjukkan dimana letak kesalahannya, beliau kemudian  mengirim saya pesan (oalahhh ternyata hanya modus). So, case close dengan si Bapak ini. 

Tak berselang lama, ada lagi seorang perempuan (sebut saja Melati 😝), yang juga saya lihat rajin komen di semua status dan juga rajin menghujat si Mawar tadi, memberikan komentar mengenai kata 'WANNA' juga. Sebagai guru bahasa inggris saya tergerak untuk mengajari sebetulnya, karena saya lihat dia nanny atau mungkin mantan nanny, which is I believe kemampuan Bahasa Inggrisnya pas - pasan. Tapi balasan yang saya dapat cukup bitter sehingga saya mengirimkan dia pesan di inbox bahwa yang dia lakukan itu bisa merusak bisnis saya. 

Lucunya semakin saya jelaskan bahwa 'WANNA' itu tidak salah dan juga saya jelaskan mengenai diksi di dalam bahasa marketing ataupun contraction d'you, dia makin memberikan komentar negative dengan mengatakan saya belajar bahasa inggris hanya dari lagu dan bahwa itu apa yang saya tulis itu semuanya salah. Mungkin dialah yang justru belajar Bahasa Inggris dari lagu. Wanna adalah informal colloquial speech, particularly American English. Kalau dipakai dalam bahasa tertulis sah - sah saja untuk membuat kalimat menjadi less formal.  Contoh lain adalah gonna for going to as in I am gonna text you later, gotta for have/got to as in I gotta tell you something. 

Singkatnya, karena ini masalah kredibiliti saya sebagai guru Bahasa Inggris dan juga saya pasang iklan kursus bahasa disitu maka saya buat postingan saya tidak bisa di comment. Saya juga post lagi sebuah status menjelaskan tentang penggunaan kata 'WANNA' dan juga contraction. Ternyata dia juga membuat post tentang saya bahwa sebagai guru harus bisa menerima kritik kalau memang salah (jadi itu menurut dia tetep salah ckckkckc). Beberapa yang tidak tahu masalahnya mengiyakan pendapatnya. Iya, pendapatnya memang betul bahwa guru harus mau dikritik bila memang salah. Menjadi guru itu profesi yang bukan buat semua orang. Saya sudah pernah tulis juga kan artikel tentang hal itu. It's a long life learning and so dynamic that's why I enjoy being a teacher.  Tetapi materi yang dia bahas itu perlu diluruskan karena itu bisa menjadi sebuah pembodohan publik. Disitu ada beberapa komentar dari PRT lain yang mengatakan saya sakit mental (ini saya maafkan karena kalau mau saya tangkep juga paling dia nangis - nangis di kantor polisi). Sementara expat yang lain justru mengatakan merekalah yang sakit mental. 

Mau tidak mau sayapun menelusuri siapa si Melati ini (yang kemudian setelah tahu siapa saya kemudian diam seribu bahasa), yang ternyata adalah a very poor woman with a very low education background. Disitu saya sadar, ternyata di Indonesia masih banyak wanita seperti ini, yang 'salah gaul', memaksakan untuk berada pada tempat dimana dia tidak semestinya ada disitu, tetapi dia merasa sudah yang paling benar dan paling hebat. Jadi yang tadinya saya bahagia karena ada kesempatan dapat 500 juta dengan mengkasuskan dia, memutuskan untuk ignore saja. 

Kembali saya ingat pada semua maid yang pernah saya punya. Saya selalu ajarin mba' saya bertutur kata halus, dan menjadi orang yang bermartabat. Meskipun pembantu bukan berarti anda rendah lho! Yang menjadikan manusia itu bermartabat atau tidak itu bukan posisi, bukan uang tetapi lebih pada attitude. Banyak juga kok orang kaya tapi komen - komen mereka di sosial media sangat tidak pantas. Bahkan memperlakukan orang lain seenaknya. RESPECT IS EARNED. Jadi para PRT a.k.a Maid atau Nanny, tolong jangan rendahkah profesimu dengan tingkah laku di publik semacam itu. Nggak lama, kok saya malah di inbox beberapa PRT yang cari kerjaan. Wah, dari yayasan ITU ya? Gimana saya mau percaya kalau attitude yang saya lihat di grup sosmed saja kasar begitu? Nggak mau ah ambil PRT dari yayasan ITU. 😁

So, pelajaran yang bisa diambil mengenai etika bersosial media adalah:

1. Jangan pernah memberikan komen negative pada sebuah postingan iklan (apalagi anda sama sekali tidak kenal orang tersebut/brand tersebut/produknya)

2. Jangan pernah mem bully orang lain dengan perkataan yang merendahkan, mendiskreditkan karena anda bisa kena pasal. 

3. Selalu bersikap sopan dan hati - hati ya, sekali anda post maka postingan anda itu sudah tidak bisa ditarik kembali meskipun anda delete. Selalu ada JEJAK DIGITAL.

Intinya, jaga penggunaan bahasa, menghargai orang lain/hasil karya orang lain, jangan berujar kebencian/menyebar hoax. 

Menurut UU No 19 Tahun 2016 sebagai Perubahan Atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), ada lima pasal yang mengatur etika bermedia sosial, mulai pasal 27 sampai 30. Baik menyangkut konten yang tidak selayaknya diunggah maupun penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, termasuk juga menjebol data tanpa ijin. https://mediaindonesia.com/opini/338876/etika-bermedia-sosial

Nah, saya kemudian banyak mendapat murid dari grup expats tersebut. Murid yang mau belajar Bahasa Indonesia. Tapi tetap saya hati - hati karena saya memang mencantumkan nomor WA, saya tidak pernah langsung menyimpan nomor mereka di kontak saya. Sampai saya yakin mereka memang betul - betul serius mau belajar. Banyak kasus cyber crime saat ini. Sehingga, kita musti makin hati - hati dengan undangan join grup WA. 

Yuk, kita bersosial media dengan aman dan sehat..

XoXo
Dee



Comments